Thursday, April 29, 2010
Teknik-Teknik Pengambilan Gambar
Film merupakan hasil karya seni yang berasal dari perpaduan banyak unsur, seperti suara, gambar, dan gerak, dll. Pemerintah sendiri mendefinisikan film sebagai berikut : ”Film adalah karya cipta seni budaya yang merupakan media komunikasi massa pandang dengar yang dibuat berdasarkan sinematografi dengan direkam pada pita selluloid, pita video, piringan video, dan atau bahan hasil penemuan teknologi lainnya dalam bentuk, jenis, ukuran melalui kimiawi, proses elektronik atau proses lainnya atau tanpa suara yang dapt dipertunjukkan dan atau ditayangkan dengan sistem proyek mekanik, elektronik dan atau lainnya (UU Perfilman th. 1992, Bab I, Pasal 1).”
Sebagaimana dijelaskan di dalam definisi tersebut film termasuk ke dalam golongan karya seni, dan dilihat dari urutannya film merupakan seni yang ketujuh di dalam jajaran seni-seni yang lain. Film agak berbeda dengan seni yang lain, karena film lahir dari gabungan unsur-unsur seni-seni yang lain yaitu seni sastra, teater, rupa, suara, musik, dan arsitektur, selain unsur-unsur seni tersebut di dalam film juga terkandung unsur teknologi.Kamera merupakan salah satu aspek penting dalam suatu pembuatan film, fungsi kamera yaitu mengambil/merekam adegan-adegan yang diarahkan oleh sang sutradara kemudian divisualisasikan oleh pemain-pemain yang melakukan adegan-adegan. Kamera dioperasikan oleh kru film yang biasa disebut kameramen, kameramen mengoperasikan kamera sesuai dengan arahan sutradara. Untuk menjadi seorang kameramen harus mengetahui jenis-jenis kamera, mengenal cara-cara atau teknik memegang kamera, teknik pengambilan gambar, unsur-unsur dalam pengambilan gambar, dll.
Jenis kamera yang digunakan dalam film sangat beragam jenisnya, namun secara garis besar kamera terbagi tiga yaitu :
1. Kamera foto (still photography)
Kamera foto menghasilkan gambar-gambar yang tidak bergerak ( still single picture). Bahan baku penyimpanan gambar berasal dari pita selluloid, sehingga setelah melakukan perekaman harus diproses lagi dengan pemrosesan secara kimiawi. Contoh : kamera analog, kamera digital.
2. Kamera film (cinema photography)
Kamera film memiliki bahan yang sama dengan kamera foto namun hasil yang didapat berbeda, kamera film menghasilkan gambar yang bergerak atau biasa disebut still motion. Contoh : kamera 8 mm, 16 mm, 35 mm.
3. Kamera video (video photography)
Untuk kamera vide sendiri memiliki persamaan dengan kamera film karena menghasilkan gambar bergerak (still motion), namun yang membedakan yaitu bahan bakunya yang berupa kaset video yang setelah pengambilan gambar hasilnya dapat langsung dilihat karena terjadinya gambar secara optis dan elektronis. Contoh : kamera Betacam, MiniDV, HDCam.
Teknik-teknik yang terdapat pada pengambilan gambar sangat bervariasi, sehingga saat kita menonton suatu film tampak macam-macam sudut pandang pengambilan gambar yang merupakan hal penting dalam film. Penonton akan merasa jenuh apabila gambar yang disajikan terlihat monoton. Adapun teknik-teknik yang ada dalam pengambilan gambar yaitu :
1. Sudut pengambilan gambar (Camera Angle)
a. Bird Eye View
Pengambilan gambar dilakukan dari atas dari ketinggian tertentu sehingga memperlihatkan lingkungan yang sedemikian luas dengan benda-benda lain yang tampak dibawah sedemikian kecil. Pengambilan gambar biasanya menggunakan helikopter maupun dari gedung-gedung tinggi.
b. High Angle
Sudut pengambilan gambar tepat diatas objek, pengambilan gambar seperti ini memiliki arti yang dramatik yaitu kecil atau kerdil.
c. Low Angle
Pengambilan gambar diambil dari bawah si objek, sudut pengambilan gambar ini merupakan kebalikan dari high angle. Kesan yang ditimbulkan dari sudut pandang ini yaitu keagungan atau kejayaan.
d. Eye Level
Pengambilan gambar ini mengambil sudut sejajar dengan mata objek, tidak ada kesan dramatik tertentu yang didapat dari eye level ini, yang ada hanya memperlihatkan pandangan mata seseorang yang berdiri.
e. Frog Level
Sudut pengambilan gambar ini diambil sejajar dengan permukaan tempat objek berdiri, seolah-olah memperlihatkan objek menjadi sangat besar.
2. Ukuran gambar (frame size)
a. Extreem Close-up (ECU)
Pengambilan gambar sangat dekat sekali, hanya menampilkan bagian tertentu pada tubuh objek. Fungsinya untuk kedetailan suatu objek.
b. Big Close-up (BCU)
Pengambilan gambar hanya sebatas kepala hingga dagu objek. Fungsi untuk menonjolkan ekpresi yang dikeluarkan oleh objek.
c. Close-up (CU)
Ukuran gambar sebatas hanya dari ujung kepala hingga leher. Fungsi untuk memberi gambaran jelas terhadap objek.
d. Medium Close-up (MCU)
Gambar yang diambil sebatas dari ujung kepala hingga dada. Fungsinya untuk mepertegas profil seseorang sehingga penonton jelas.
e. Mid Shoot (MS)
Pengambilan gambar sebatas kepala hingga pinggang. Fungsinya memperlihatkan sosok objek secara jelas.
f. Knee Shoot (KS)
Pengambilan gambar sebatas kepala hingga lutut. Fungsinya hampir sama dengan Mid Shot.
g. Full Shoot (FS)
Pengambilan gambar penuh objek dari kepala hingga kaki. Fungsinya memperlihatkan objek beserta lingkungannya.
h. Long Shoot (LS)
Pengambilan gambar lebih luas dari pada Full Shoot. Fungsinya menunjukkan objek dengan latar belakangnya.
i. Extreem Long Shoot (ELS)
Pengambilan gambar melebihi Long Shoot, menampilkan lingkungan si objek secara utuh. Fungsinya menunjukkan bahwa objek tersebut bagian dari lingkungannya.
j. 1 Shoot
Pengambilan gambar satu objek. Fungsinya memperlihatkan seseorang/benda dalam frame.
k. 2 Shoot
pengambilan gambar dua objek. Fungsinya memperlihatkan adegan dua orang yang sedang berkomunikasi.
l. 3 shoot
pengambilan gambar tiga objek. Fungsinya memperlihatkan adegan tiga orang sedang mengobrol.
m. Group Shoot
Pengambilan gambar sekumpulan objek. Fungsinya memperlihatkan adegan sekelompok orang dalam melakukan suatu aktifitas.
3. Gerakan kamera (moving camera)
a. Zooming (In/Out)
Gerakan yang dilakukan oleh lensa kamera mendekat maupun menjauhkan objek, gerakan ini merupakan fasilitas yang disediakan oleh kamera video dan kameramen hanya mengoperasikannya saja.
b. Panning (Left/Right)
Yang dimaksud dengan gerakkan panning yaitu kamera bergerak dari tengah ke kanan atau dari tengah ke kiri, namun bukan kameranya yang bergerak tapi tripodnya yang bergerak sesuai arah yang diinginkan.
c. Tilting (Up/Down)
Gerakan tilting yaitu gerakan ke atas dan ke bawah, masih menggunakan tripod sebagai alat bantu agar hasil gambar yang didapat memuaskan dan stabil.
d. Dolly (In/Out)
Gerakan yang dilakukan yaitu gerakan maju mundur, hampir sama dengan gerakan Zooming namun pada dolly yang bergerak adalah tripod yang telah diberi roda dengan cara mendorong tripod maju ataupun menariknya mundur.
e. Follow
Pengambilan gambar dilakukan dengan cara mengikuti objek dalam bergerak searah.
f. Framing (In/Out)
Framing adalah gerakan yang dilakukan oleh objek untuk memasuki (in) atau keluar (out) framming shot.
g. Fading (In/Out)
Merupakan pergantian gambar secara perlahan-lahan. Apabila gambar baru masuk menggantikan gambar yang ada disebut fade in, sedangkan jika gambar yang ada perlahan-lahan menghilang dan digantikan gambar baru disebut fade out.
h. Crane Shoot.
Merupakan gerakan kamera yang dipasang pada alat bantu mesin beroda dan
bergerak sendiri bersama kameramen, baik mendekati maupun menjauhi objek.
4. Gerakan objek (moving object)
a. Kamera sejajar objek. Kamera sejajar mengikuti pergerakan objek, baik ke kiri maupun ke kanan.
b. Walking (In/Out) Objek bergerak mendekati (in) maupun menjauhi (out) kamera.
Setelah mengetahui teknik-teknik dalam pengambilan gambar, ada beberapa elemen penting yang harus ada di dalam gambar. Adapun elemen-elemen tersebut yaitu :
a. Motivasi
b. Informasi
c. Komposisi
d. Suara
e. Sudut Kamera
f. Kontinuitas
Selain teknik-teknik maupun tata cara pengambilan gambar yang harus dimiliki oleh seorang kameramen yaitu sense of art atau rasa seni, karena gambar yang diambil oleh kameramen merupakan karya seni. Setiap orang memungkinkan untuk menguasai teknik-teknik pengambilan gambar namun apabila tidak memiliki rasa seni atau keindahan maka hasil yang didapatpun kurang maksimal. Jadi rasa seni yang tinggi dapat dijadikan modal utama untuk menjadi kameramen.
Pengenalan Kepada Fotografi
Foto sebagai medium visual dan bahasa
Alasan utama menggunakan foto sebagai media visual untuk keperluan pendidikan masyarakat atau kampanye pembentukan pendapat umum, sebenarnya lebih pada kemampuannya merekam (mengabadikan) suatu kejadian atau keadaan sosial sebagaimana adanya. Pengalaman menunjukkan bahwa banyak dari masalah-masalah sosial tersebut –yang hampir selalu mengandung hubungan-hubungan (relasi) yang sangat rumit dengan suatu konsepsi pengertian yang niskala (abstract) untuk menjelaskannya-- lebih mudah difahami oleh warga masyarakat, khususnya di lapisan akar-rumput, jika dibantu dengan media visual seperti foto. Paling tidak, akan sangat membantu mereka untuk mendapatkan informasi atau pengetahuan awal tentang masalah tersebut, sebagai dasar untuk kemudian memulai proses-proses pemahaman bersama secara lebih mendalam, menyeluruh, dan kritis.
Ketika kita melihat satu gambar atau foto, pertanyaan pertama yang muncul di benak kita adalah: gambar atau foto itu menceritakan apa? Dengan kata lain, kita mempertanyakan 'tema' pokok dari gambar atau foto tersebut. Ini berarti bahwa unsur pertama dan terpenting yang membuat kita tertarik atau berminat melihat satu gambar atau foto adalah tema nya. Ini terutama berlaku pada gambar-gambar atau foto-foto yang digunakan sebagai media visual untuk keperluan pendidikan masyarakat dan kampanye pembentukan pendapat umum.
Meskipun semua foto yang baik adalah yang memenuhi syarat-syarat dasar baku fotografi (fokus, tidak goyang, jelas dan tajam, dan sebagainya), namun foto-foto untuk keperluan pendidikan masyarakat dan kampanye pendapat umum justru lebih mementingkan tema permasalahan yang ingin disampaikannya. Inilah yang terutama membedakannya dengan foto-foto artistik yang terutama mengandalkan kekuatan seninya (komposisi, sudut pengambilan gambar, perpaduan warna, cahaya, dan sebagainya). Atau, membedakannya dengan foto-foto jurnalistik yang terutama mengandalkan kekuatan kehangatan (aktualitas) berita atau kejadiannya.
Karena itu, hal terpenting dipikirkan ketika akan membuat foto-foto untuk keperluan pendidikan masyarakat dan kampanye pendapat umum adalah: bagaimana menemukan gagasan dan membangun tema yang kuat?
Hal pertama yang harus diingat adalah tujuan pendidikan masyarakat dan kampanye pendapat umum itu sendiri. Pendidikan masyarakat atau kampanye pendapat umum pada dasarnya bertujuan membangun pemahaman, keprihatinan dan kesadaran masyarakat luas tentang suatu persoalan atau permasalahan sosial. Karena itu, tema dari foto-foto (atau media apapun) yang digunakan untuk keperluan pendidikan masyarakat dan kampanye pendapat umum adalah tema nya yang memang menggambarkan suatu persoalan dan permasalahan sosial tertentu. Singkatnya, tema dari foto-foto tersebut memang memiliki kaitan kontekstual dengan realitas persoalan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Secara garis-besar, kaitan kontekstual tersebut ditentukan oleh beberapa tolok-ukur utama sebagai berikut:
Tema yang ditampilkannya memang menggambarkan permasalahan yang ada dan dirasakan oleh masyarakat pada umumnya;
• Masalah tersebut memang bersifat sangat penting dan mendesak (urgent) untuk diperhatikan oleh siapapun, termasuk oleh para pembuat kebijakan dan masyarakat luas pada umumnya.
• Masalah tersebut memang potensial untuk dijadikan titik-awal mendesakkan terjadinya perubahan sosial, baik oleh kelompok masyarakat yang menghadapinya maupun oleh berbagai fihak lain yang berkeprihatinan terhadap permasalahan tersebut.
• Meskipun tidak terlalu penting, namun akan jauh lebih baik jika permasalahan itu juga memang sedang hangat-hangat nya (aktual) dalam berbagai pemberitaan media massa, atau dalam perbincangan atau wacana pendapat umum yang sedang berkembang saat itu.
Semua tolok-ukur kontekstual tersebut semakin memperjelas bahwa foto-foto untuk media pendidikan rakyat dan kampanye pendapat umum adalah juga berbeda dengan 'foto-foto laporan kegiatan'. Hal ini mungkin perlu ditegaskan, karena ada kecenderungan kuat selama ini yang melihat peralatan fotografi (kamera dan lainnya) lebih sebagai 'alat pendokumentasian kegiatan'.
Harus ditegaskan bahwa salah satu ciri pokok foto-foto sebagai media pendidikan masyarakat atau kampanye pendapat umum adalah:
• Melaporkan 'keadaan atau permasalahan tertentu di masyarakat', memotret 'kehidupan nyata masyarakat', bukan melaporkan 'kegiatan sang pemotret atau organisasinya'. Tegasnya, bukan 'foto-foto dokumentasi' atau 'foto-foto laporan kegiatan', tetapi 'foto-foto laporan keadaan atau permasalahan tertentu di masyarakat'.
• Karena itu, foto-foto sebagai media pendidikan dan kampanye biasanya akan lebih mampu menceritakan permasalahan masyarakat jika berupa 'kumpulan atau rangkaian beberapa foto' (photo series), bukan 'foto tunggal' atau 'kumpulan foto-foto yang tidak jelas atau tidak ada kaitannya satu sama lain'.
• Dengan demikian, foto-foto sebagai media pendidikan dan kampanye yang baik adalah yang 'memotret keadaan permasalahan masyarakat sebagaimana adanya', bukan keadaan yang direkayasa atau direkonstruksi, sehingga jelas-jelas bukan 'foto nampang' (posing).
Ketika kita melihat satu gambar atau foto, pertanyaan pertama yang muncul di benak kita adalah: gambar atau foto itu menceritakan apa? Dengan kata lain, kita mempertanyakan 'tema' pokok dari gambar atau foto tersebut. Ini berarti bahwa unsur pertama dan terpenting yang membuat kita tertarik atau berminat melihat satu gambar atau foto adalah tema nya. Ini terutama berlaku pada gambar-gambar atau foto-foto yang digunakan sebagai media visual untuk keperluan pendidikan masyarakat dan kampanye pembentukan pendapat umum.
Meskipun semua foto yang baik adalah yang memenuhi syarat-syarat dasar baku fotografi (fokus, tidak goyang, jelas dan tajam, dan sebagainya), namun foto-foto untuk keperluan pendidikan masyarakat dan kampanye pendapat umum justru lebih mementingkan tema permasalahan yang ingin disampaikannya. Inilah yang terutama membedakannya dengan foto-foto artistik yang terutama mengandalkan kekuatan seninya (komposisi, sudut pengambilan gambar, perpaduan warna, cahaya, dan sebagainya). Atau, membedakannya dengan foto-foto jurnalistik yang terutama mengandalkan kekuatan kehangatan (aktualitas) berita atau kejadiannya.
Karena itu, hal terpenting dipikirkan ketika akan membuat foto-foto untuk keperluan pendidikan masyarakat dan kampanye pendapat umum adalah: bagaimana menemukan gagasan dan membangun tema yang kuat?
Hal pertama yang harus diingat adalah tujuan pendidikan masyarakat dan kampanye pendapat umum itu sendiri. Pendidikan masyarakat atau kampanye pendapat umum pada dasarnya bertujuan membangun pemahaman, keprihatinan dan kesadaran masyarakat luas tentang suatu persoalan atau permasalahan sosial. Karena itu, tema dari foto-foto (atau media apapun) yang digunakan untuk keperluan pendidikan masyarakat dan kampanye pendapat umum adalah tema nya yang memang menggambarkan suatu persoalan dan permasalahan sosial tertentu. Singkatnya, tema dari foto-foto tersebut memang memiliki kaitan kontekstual dengan realitas persoalan atau permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat.
Secara garis-besar, kaitan kontekstual tersebut ditentukan oleh beberapa tolok-ukur utama sebagai berikut:
Tema yang ditampilkannya memang menggambarkan permasalahan yang ada dan dirasakan oleh masyarakat pada umumnya;
• Masalah tersebut memang bersifat sangat penting dan mendesak (urgent) untuk diperhatikan oleh siapapun, termasuk oleh para pembuat kebijakan dan masyarakat luas pada umumnya.
• Masalah tersebut memang potensial untuk dijadikan titik-awal mendesakkan terjadinya perubahan sosial, baik oleh kelompok masyarakat yang menghadapinya maupun oleh berbagai fihak lain yang berkeprihatinan terhadap permasalahan tersebut.
• Meskipun tidak terlalu penting, namun akan jauh lebih baik jika permasalahan itu juga memang sedang hangat-hangat nya (aktual) dalam berbagai pemberitaan media massa, atau dalam perbincangan atau wacana pendapat umum yang sedang berkembang saat itu.
Semua tolok-ukur kontekstual tersebut semakin memperjelas bahwa foto-foto untuk media pendidikan rakyat dan kampanye pendapat umum adalah juga berbeda dengan 'foto-foto laporan kegiatan'. Hal ini mungkin perlu ditegaskan, karena ada kecenderungan kuat selama ini yang melihat peralatan fotografi (kamera dan lainnya) lebih sebagai 'alat pendokumentasian kegiatan'.
Harus ditegaskan bahwa salah satu ciri pokok foto-foto sebagai media pendidikan masyarakat atau kampanye pendapat umum adalah:
• Melaporkan 'keadaan atau permasalahan tertentu di masyarakat', memotret 'kehidupan nyata masyarakat', bukan melaporkan 'kegiatan sang pemotret atau organisasinya'. Tegasnya, bukan 'foto-foto dokumentasi' atau 'foto-foto laporan kegiatan', tetapi 'foto-foto laporan keadaan atau permasalahan tertentu di masyarakat'.
• Karena itu, foto-foto sebagai media pendidikan dan kampanye biasanya akan lebih mampu menceritakan permasalahan masyarakat jika berupa 'kumpulan atau rangkaian beberapa foto' (photo series), bukan 'foto tunggal' atau 'kumpulan foto-foto yang tidak jelas atau tidak ada kaitannya satu sama lain'.
• Dengan demikian, foto-foto sebagai media pendidikan dan kampanye yang baik adalah yang 'memotret keadaan permasalahan masyarakat sebagaimana adanya', bukan keadaan yang direkayasa atau direkonstruksi, sehingga jelas-jelas bukan 'foto nampang' (posing).
Foto sebagai bentuk komunikasi visual, dan merupakan elemen desain komunikasi visual merupakan media yang bertujuan untuk menimbulkan kesan tertentu pada pengamat atau komunikan, tanpa mempersoalkan nilai yang timbul dalam masyarakat. Foto atau gambar merupakan elemen yang sangat potensial dalam membangun imajinasi dan kesan. Foto iklan dimaksudkan dan diarahkan untuk membentuk kesan di benak konsumen. Komunikasi berlansung taktis dan strategis karena diandaikan bahwa kesan yang terkemas akan sampai seutuhnya pada konsumen. Hal ini sangat mujarab, karena foto iklan memiliki kecendrungan manipulatif. Untuk membuat iklan agar lebih memiliki daya tarik, daya kejut, daya hentak serta daya henti bagi mata yang melihat, dibutuhkan adanya sentuhan rekayasa atau kolase, dramatisir dan hiperbola. (Roland Barthes,1978)
Dalam buku the photographic message, Roland Barthes, beliau ,mengajukan tiga tahap dalam membaca foto: perseptif, kognitif, dan etis ediologis. Tahap perseptif terjadi jika seseorang melakukan transformasi gambar ke kategori lisan; jadi semacam penjelasan gambar. Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi segaris dengan unsur bahasa yang pada dasarnya satu titik. Konotasi kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan unsur-unsur historis dari denotasi. Ini konotasi yang dibangun atas satu dasar pedoman imajinasi. Pengetahuan kultural sangat menentukan. Tahap ketiga yaitu etis ediologis, orang mengumpulkan berbagai signifier yang siap dikalimatkan. Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa sebagaimana dijelaskan diatas membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes menyebut signifier pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified sebagai idiologi. Ini dibangun dengan imajinasi simbolik. Ketiga tahap ini adalah tahap ide pokok atau penyimpangannya untuk menentukan wacana suatu foto dan moralitas atau ideologi yang berkaitan. (ST.Sunardi, 2002)
Sebelum melakukan pembedahan pada foto, ada dua hal yang menjadi teori Barthes, dua konsep yang perlu diketahui itu adalah studium dan punctum. Studium adalah saat seseorang meraba-raba, mengeksplorasi unsur-unsur yang ada dalam foto. Studium sejajar dengan saat mengamati, saat mencoba melakukan penyesuaian terhadap indera dengan objek yang ada dalam foto. Punctum adalah saat orang bergerak dan berhenti pada suatu titik karena titik itu membuatnya terkesan. Pernyataan ini bisa dipahami karena saat studium, adalah saat melakukan pencocokan kode yang ada pada diri orang tersebut dengan kode yang ada dalam foto, sedangkan saat punctum adalah saat orang tersebut menggunakan bahasanya sendiri dalam upaya membantu subjektivitasnya. Bisa juga dikatakan bahwa studium adalah saat seseorang menjajaki diri mereka melalui bahasa publik, dan punctum saat mereka hanya menggunakan bahasa mereka sendiri. Dengan kata lain teori Barthes ini berupa gambaran tentang halusinasi realitas yang digabungkan dengan imajinasi sesorang ketika dihadapkan pada sebuah foto. (ST.Sunardi, 2002)
Dalam buku the photographic message, Roland Barthes, beliau ,mengajukan tiga tahap dalam membaca foto: perseptif, kognitif, dan etis ediologis. Tahap perseptif terjadi jika seseorang melakukan transformasi gambar ke kategori lisan; jadi semacam penjelasan gambar. Konotasi perspektif tidak lain adalah imajinasi segaris dengan unsur bahasa yang pada dasarnya satu titik. Konotasi kognitif dilakukan dengan cara mengumpulkan dan menghubungkan unsur-unsur historis dari denotasi. Ini konotasi yang dibangun atas satu dasar pedoman imajinasi. Pengetahuan kultural sangat menentukan. Tahap ketiga yaitu etis ediologis, orang mengumpulkan berbagai signifier yang siap dikalimatkan. Barthes menunjukkan bahwa tiga cara rekayasa sebagaimana dijelaskan diatas membuka kemungkinan untuk menurunkan signifier. Barthes menyebut signifier pada tingkat konotatif ini dengan sebutan mitos dan signified sebagai idiologi. Ini dibangun dengan imajinasi simbolik. Ketiga tahap ini adalah tahap ide pokok atau penyimpangannya untuk menentukan wacana suatu foto dan moralitas atau ideologi yang berkaitan. (ST.Sunardi, 2002)
Sebelum melakukan pembedahan pada foto, ada dua hal yang menjadi teori Barthes, dua konsep yang perlu diketahui itu adalah studium dan punctum. Studium adalah saat seseorang meraba-raba, mengeksplorasi unsur-unsur yang ada dalam foto. Studium sejajar dengan saat mengamati, saat mencoba melakukan penyesuaian terhadap indera dengan objek yang ada dalam foto. Punctum adalah saat orang bergerak dan berhenti pada suatu titik karena titik itu membuatnya terkesan. Pernyataan ini bisa dipahami karena saat studium, adalah saat melakukan pencocokan kode yang ada pada diri orang tersebut dengan kode yang ada dalam foto, sedangkan saat punctum adalah saat orang tersebut menggunakan bahasanya sendiri dalam upaya membantu subjektivitasnya. Bisa juga dikatakan bahwa studium adalah saat seseorang menjajaki diri mereka melalui bahasa publik, dan punctum saat mereka hanya menggunakan bahasa mereka sendiri. Dengan kata lain teori Barthes ini berupa gambaran tentang halusinasi realitas yang digabungkan dengan imajinasi sesorang ketika dihadapkan pada sebuah foto. (ST.Sunardi, 2002)
Pengantar: Fotografi dan Budaya Visual
oleh Alex Supartono
Bersama mesin uap dan telegraf, fotografi telah memperpendek jarak antarorang dan antarruang sejak dua abad lalu. Mesin uap sebagai perpanjangan otot telah memperbesar kemungkinan aksi dan mimpi manusia, telegraf mengubah pola komunikasi, dan fotografi menjadi mata yang terus bekerja memberi tatapan baru terhadap dunia.
Dilihat dari dalam, fotografi adalah kerja ilmiah panjang mewujudkan mimpi mengabadikan pantulan citra di cermin. Mimpi melanggengkan apa yang pernah kita lihat atau lakukan dan menjadikannya jejak (atau bahkan saksi) sejarah yang kita bangun. Rekaman visual dalam bentuk lukisan dan karya grafis, selain terlalu mahal, dianggap tak lagi memenuhi tuntutan kecepatan dan efisiensi modernitas. Fotografi adalah bagian dari percepatan zaman yang terobsesi efisiensi mekanis.
Prinsip fisika kerja pinhole atau camera obscura (kamar gelap) ditemukan jauh sebelum menjadi praktek fotografi. Dalam camera obscura, pemandangan di luar terpantul melalui sebuah lubang kecil (pinhole) ke dinding di seberangnya secara terbalik. Pada abad ke-11 para ilmuwan Arab sudah memakainya sebagai hiburan dengan menjadikan tenda mereka sebagai camera obscura, sebelum Leonardo da Vinci di akhir abad ke-15 menggambar rincian sistem kerja alat yang menjadi muasal kata "kamera" itu. Seabad kemudian—berbentuk kotak dan mudah dibawa ke mana-mana—piranti ini sudah menjadi salah satu alat kerja para pelukis yang umum dipakai, membantu mereka mendwimatrakan realitas tiga dimensi yang akan mereka lukis. Perkembangan teknologi lensa kemudian tidak hanya membuat citra itu semakin jelas tapi juga tidak terbalik, dan camera obscura pun mulai menjadi benda umum.
Masalah berikutnya adalah bagaimana meninggalkan jejak citra di dalam camera obscura. Pada tahun 1727, ilmuwan Jerman Johann Heinrich Schulze menemukan kimia perak yang menghitam ketika terkena cahaya. Penemuan ini dilanjutkan oleh koleganya dari Inggris, Thomas Wedgwood, yang mulai berhasil merekam citra secara fotografis. Percobaan Wedgwood ini menghasilkan citra primitif bayangan berbagai obyek. Tetapi ternyata citra ini terus menggelap sampai tak ada lagi yang bisa dilihat. Dengan lain kata, Wedgwood tak berhasil mewujudkan citra fotografis. Akhirnya rekaman citra dari camera obscura baru tercapai pada tahun 1826 ketika foto pertama diproduksi oleh bangsawan Prancis Joseph Nicephore Niepce (1765-1833), yang menyebutnya "heliograf" (tulisan matahari). Namun, dibutuhkan waktu 8 jam untuk mengabadikan gedung-gedung dari jendela rumah itu. Alhasil, meski Niepce sudah menemukan dasar utama fotografi, ia belum berhasil menjadikannya sesuatu yang praktis.
Louis Jacques Mende Daguerre-lah (1787-1851), rekan kerja sama Niepce, yang membuat alat penjiplak realitas ini menjadi jauh lebih praktis dengan waktu eksposur kurang dari satu menit. Sayangnya citra yang dihasilkan daguerreotype adalah citra positif, sehingga menjadi satu-satunya hasil rekaman. Sedangkan ketunggalan bertentangan dengan industri dan produksi massal. Masalah ini akhirnya diselesaikan oleh bangsawan dan akademisi Inggris, William Henry Fox Talbot (1800-1877), yang menemukan negatif dan mencetaknya di atas kertas.
Selanjutnya, penyempurnaan teknologi fotografi terus berlanjut dengan orientasi utama pada kemudahan pemakaiannya sehari-hari. George Eastman memperkenalkan kamera Kodak dengan film gulung di tahun 1888, mengubah fotografi, yang sebelumnya hanya dilakukan para profesional, menjadi konsumsi publik: You press the button, we do the rest. Tahun 1925 kamera 35mm pertama, kamera yang kita pakai sehari-hari sekarang, keluar dari pabrik Leica di Jerman. Kodak kembali menyusul dengan memperkenalkan film berwarna pada tahun 1935, lalu foto langsung jadi Polaroid diluncurkan tahun 1947, dan kamera digital mulai dijual ke pasar tahun 1996.
Percepatan perkembangan teknologi fotografi, yang dibarengi distribusi citra-citra fotografis, ternyata tidak otomatis menjadikannya sebagai bagian dari keseharian, dibanding mesin uap atau telegraf. Teknologi memindahkan realitas ke atas selembar kertas ternyata terlalu mengejutkan untuk langsung nyambung dengan kesadaran (visual) manusia. Fotografer Inggris John Thomson (1837-1921) pernah dikejar-kejar penduduk setempat saat menjalankan misi antropologis di Cina karena mereka percaya ada mata seorang anak kecil yang diletakkan di dalam kameranya. Balzac selalu ketakutan setiap kali Nadar (1820-1910) hendak memotretnya, karena bapak novel realis ini yakin bahwa seberkas nyawanya berpindah ke dalam foto. Keluhan yang sama disampaikan Kartini (1879-1901) kepada kawannya, Abendanon, saat ia mengalami kesulitan memotret di luar keputren. Seperti Balzac, bukan kebetulan orang Jawa saat itu ketakutan bahwa kamera akan memperpendek hidup mereka. Suasana yang bertentangan dengan rasionalitas teknologi sepertinya terus menyesuaikan bentuk mengiring sejarah fotografi, menciptakan serangkaian takhayul baru.
Di lain pihak, di tengah seluruh keterdugaan fotografi, pencarian terhadap faktor-faktor tak terduga dari medium ini menjadi obsesi tersendiri di kalangan fotografer. Mereka berusaha mencari dan menampilkan unsur-unsur nonmekanis dalam karya-karya mereka, yang tidak lagi bisa diukur secara teknis. Para fotografer potret, mulai dari August Sander dan Richard Avedon sampai Diane Arbus dan Rineke Dijkstra, berusaha merenggut ke luar dan menampilkan nyawa, karakter, dan keunikan individual subyek-subyek yang mereka potret. Sehingga apa yang kita lihat di dalam foto bukanlah sekadar tampilan luar tapi juga pancaran kedalamannya. Dengan demikian, dengan statusnya sebagai penyalin mekanis realitas, fotografi sebenarnya, mengikuti Roland Barthes (1915-1981), menampilkan pada kita apa yang tidak terlihat. Namun untuk mencapai kualitas itu, para fotografer tak bisa tidak harus menggunakan kemungkinan-kemungkinan teknis yang disediakan fotografi. Mutlaknya keterkaitan gagasan dan teknis eksekusinya ini, sempat membuat pemikir seperti Susan Sontag (1933-2004) berpikir bahwa fotografi-lah yang akan menyelesaikan perdebatan klasik bentuk dan isi dalam seni.
Walter Benjamin (1892-1940) melihat reproduksi dan distribusi fotografi sebagai kekuatan yang akan menghancurkan aura seni pra-fotografi. Dari judul esainya yang paling dikenal di dunia fotografi, "The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction" (1936), Benjamin menyatakan fotografi adalah bentuk seni yang menjadi konsekuensi logis dari zaman yang digerakkan oleh reproduksi mekanis. Optimisme yang didasarkan pada rasionalitas fotografi sebagai hasil dari teknologi itu ternyata harus berhadapan dengan bentuk irasionalitas lain. Pemujaan magis dan religius pada karya seni yang telah disekulerkan oleh reproduksi mekanis, ternyata berhasil membangun tradisi otentisitas baru yang tidak lagi perlu bergantung pada ketunggalan, tetapi dengan memasukkannya ke dalam sistem yang mengendalikan karakter alamiah reproduktifnya. Januari 2007 lalu, sebuah foto ukuran 227 x 337 cm yang memperlihatkan pajangan barang supermarket di Amerika berjudul "99 cent II" karya fotografer Jerman Andreas Gursky, terjual seharga 1,7 juta poundsterling di Sotheby’s London. Beberapa bulan kemudian, restropeksi Andreas Gursky di Haus der Kunst Muenchen mematok harga paling rendah 200.000 euro.
Label harga adalah gerbang paradoksal fotografi ke dalam dunia seni. Bagaimana kita dapat memberi nilai pada sebuah obyek yang dapat diproduksi ulang (meski bukan di-copy) dalam jumlah yang praktis tak berhingga itu seolah-olah obyek tersebut adalah satu-satunya di dunia. Douglas Crimp, teoritikus dan fotografer Amerika, menganggap museum dan galeri sebagai geto fotografi. Sebab di ruang itu aspek estetis fotografi-lah yang mengemuka, mengesampingkan potensi makna lain yang ditanamkan ketika foto itu dibuat. Museum dan galeri-lah yang mengubah fotografi menjadi obyek yang melulu diperhatikan kualitas estetisnya: menjadi obyek seni. Tahap selanjutnya adalah membangun nilai finansial obyek tersebut, mengikuti tradisi dan aturan main dari seni rupa yang lebih dulu terbentuk.
Gejala di atas tidaklah sesederhana perkara menerima atau menolak fotografi masuk ke dalam museum, galeri, atau pasar seni. Masuknya fotografi ke dalam wacana dan praktek seni bercampur baur antara: 1. Foto yang dibuat tanpa niatan seni (foto dokumenter, misalnya) namun di kemudian hari dilihat sebagai benda seni, 2. Seniman yang menggunakan fotografi sebagai salah satu medium ekspresinya, dan 3. Fotografer melihat dirinya sebagai seniman yang menghasilkan obyek seni lewat fotografi. Hal ini masih ditambah dengan kecurigaan yang selalu ada pada intervensi mekanis dalam kerja kreatif. Walau Picasso dan Renoir melihat kamera telah membebaskan pelukis dari banyak hal, sebanyak kemungkinan cara melihat baru yang ditawarkannya, posisi fotografi dalam seni rupa tetap saja tidak pernah jenak. Keluasan kemungkinan artistik yang disediakan fotografi, yang terus bertambah seturut perkembangan teknologinya, menuntut penyesuaian tanpa henti dari gagasan tentang seni rupa itu sendiri, beserta seluruh infrastrukturnya. Sampai sekarang, perbincangan ini masih terus berlangsung sebagaimana tampak jelas dari bermacam karakter yang dikembangkan berbagai festival foto di dunia, dari festival yang mengeksplorasi batas fotografi dokumenter dan seni, festival yang memberi ruang lebih lebar pada kemungkinan-kemungkinan fotojurnalistik, sampai festival yang dipenuhi galeri-galeri yang mewakili fotografer/seniman dan memasarkan karya mereka. Namun, praktek-praktek ini masih terlalu dini untuk dijadikan acuan melihat perkembangan fotografi dan seni.
Namun, di lain pihak, melihat fotografi dengan perspektif kualitas formalnya belaka, melalui kaca mata seni rupa, sebenarnya mengesampingkan sebagian besar praktek fotografi lainnya: jurnalistik, mode, iklan, dan tentu saja snapshots (foto-foto yang dibuat dengan ketulusan). Foto KTP, paspor, sinar X, mikroskopis, makroskopis, foto ulang tahun, perkawinan, foto studio komersial yang tersebar di setiap penjuru adalah keseharian modern kita. Citra-citra fotografis inilah yang memengaruhi cara kita berpakaian, makan, berpikir, berpendapat, dan bahkan cara kita lahir dan mati.
Warhol, Rauschenberg dan seniman pop art lain di awal 1970-an meninggalkan keterpakuan pada kualitas formal fotografi dan mulai menjadikan praktek keseharian fotografi sebagai materi dasar karya-karya mereka sekaligus medium ekspresinya. Cetak saring Warhol yang sekarang berharga ratusan ribu dolar itu dibuat berdasarkan citra-citra fotografis (potret) Mao, Marilyn Monroe, Muhammad Ali sampai Che yang sebelumnya sudah menjadi ikon publik. Di sini Warhol tidak melandaskan karyanya pada kemampuan fotografi menjiplak realitas, tapi pada kekuatan reproduksi dan distribusi fotografi yang sedemikian rupa sehingga mampu menjadikan potret sebagai ikon visual publik. Dengan kata lain, Warhol berkarya berdasarkan citra fotografis yang sudah ada, tanpa harus repot membuatnya sendiri. Praktek ini adalah gejala baru yang membuka wilayah pembahasan baru dalam kaitan posisi fotografi dengan/dalam seni rupa.
Pembahasan fotografi dan seni selalu menopan di dalam gelas. Kalau kita sedikit saja melongok ke luar dari keriuhan di dalam gelas itu, segera terpampang keluasan masalahnya yang masih jauh dari pembahasan yang memadai. Sedangkan praktek dan dampaknya berjalan terus tanpa henti. Kedekatan fotografi pada realitas yang bersejajar dengan kecenderungan kita untuk lebih percaya apa yang kita lihat (seeing is believing), membuat perpanjangan hubungan kita dengan realitas kita terima sebagai realitas itu sendiri. Susan Sontag menyebut gejala ini sebagai super-tourism. Layaknya pelancong zaman sekarang, keberadaan, pengalaman, dan hubungan dengan tempat yang dikunjungi seolah tidak pernah ada bila tidak ada foto yang menjadi bukti. Memori kita pun kemudian tidak mengacu pada pengalaman kita langsung, tetapi pada foto yang menunjukkan keberadaan kita di sana.
Daya ilusif foto memiliki kemampuan menisbikan statusnya sendiri sebagai representasi. Kesenjangan inilah yang menjadi pokok masalah pengetahuan yang dibawa fotografi: dari semua bentuk representasi, fotografi adalah medium yang paling mudah berasimilasi dalam perbincangan kita tentang pengetahuan dan kebenaran. Penerimaan kita terhadap informasi yang diberikan foto sering kali mengandaikan begitu saja (atau abai pada) praktek-praktek yang dilakukan saat pembuatan foto tersebut, dan hanya berkonsentrasi pada fotonya. Sehingga kosakata yang kita pakai untuk sebuah foto sering kali tak ubahnya seperti pertemuan langsung dengan apa yag ditampilkan foto tersebut. "Ini pacar saya" adalah frasa yang dipakai untuk memperkenalkan pacar saya pada orang lain ketika saya menunjukkan foto pacar saya pada orang lain. Foto berkekuatan langsung masuk ke dalam bawah sadar kita yang membuat kita menerima jiplakan realitas sebagai realitas itu sendiri.
Roland Barthes membawa skandal fotografis dalam peristiwa Komune Paris sebagai contoh. Berawal dari sebuah foto yang menampilkan sosok-sosok yang berjajar dengan pose bangga di depan kamera. Kemenangan baru saja mereka raih. Mereka berhasil menguasai salah satu sudut Paris, merebutnya dari tangan kaum borjuis konservatif. Teori telah dipraktekkan, dan mereka melihat masa depan realisasi sebuah ideologi.
Dalam pose itu, setiap pribadi begitu mengemuka, penuh dengan cita-cita. Setiap wajah mengguratkan kehendak dan keberanian dalam kekhasan ekspresi masing-masing. Tanpa mereka sangka, justru karena foto inilah hidup mereka berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil membangkitkan amarah warga Paris pada para anggota Komune Paris itu. Foto yang menampilkan mayat polisi bergelimpangan, dengan keterangan mereka dibantai para pejuang revolusioner itu. Foto itu membuat warga Paris berubah pikiran dan memberi mandat kepada polisi untuk menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan perbuatan mereka. Dari foto kemenangan itu, masing-masing orang itu dikenali, kemudian satu demi satu ditembak mati, hampir semuanya. Namun, warga Paris tidak tahu bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan yang mereka lihat itu, bangkit kembali setelah sesi pemotretan selesai.
Bukannya kita tidak belajar dari peristiwa yang diangkat Barthes di atas. Tokoh Bauhaus kelahiran Hungaria, Laszlo Moholy-Nagy, sudah mengingatkan sejak awal abad ke-20 lalu, bahwa pengetahuan kita tentang fotografi sama pentingnya dengan pengetahuan kita tentang abjad. Dan iliterasi di masa depan adalah pengabaian atas penggunaan kamera seperti halnya penggunaan pena. Moholy-Nagy menuntut manusia modern untuk mampu membaca foto seperti membaca tulisan, karena kamera akan sama pentingnya dengan pena. Kekhawatiran Moholy-Nagy bukan hanya pada "daya ilusif" fotografi, tapi pada daya sebar tipuan itu, bukan semata pada produksi tapi juga pada distribusi. Sebab, kekuatan ilusif foto berlipat ganda seiring daya sebarnya, berkat kemampuan fotografi berinteraksi dan bergabung dengan bentuk-bentuk representasi visual lain.
Dunia kita semakin visual. Semakin lama kita semakin rapat dikelilingi citra yang semakin canggih. Seakan kata perlahan digantikan citra. Waktu yang kita habiskan untuk membaca semakin dikurangi waktu kita untuk menonton. Semakin jarang kita merekam pengalaman dengan catatan buku harian, sebab melihat foto atau video-nya jauh lebih menyenangkan. Namun, walaupun kita sudah begitu terbiasa menerima segala yang datang secara visual, tidak otomatis kita aktif pula secara visual, sebagaimana otak kita aktif bekerja mencerna kata, huruf, dan tulisan. Terhadap citra, terlalu banyak hal yang kita andaikan, tanpa pernah perlu memeriksa lebih jauh pemahaman kita atasnya. Sebab, kita tak pernah dididik secara sistematis untuk itu.
Saat belajar membaca abjad, kita ditunjukkan bagaimana kalimat disusun menjadi satuan-satuan tata bahasa, bagaimana penulis menggunakan perangkat tata bahasa untuk menyampaikan gagasan mereka, serta bagaimana gagasan disusun dan dipertukarkan dalam berbagai tingkat kecanggihan. Kita belajar membaca sekaligus menulis, melakukan konsumsi sekaligus produksi, pasif tetapi juga aktif. Sedangkan terhadap yang visual, kita seakan ditinggal sendirian untuk memahami maknanya. Kita tidak pernah diajari (secara sistematis) bagaimana melihat gagasan dibentuk dan disebarkan secara visual. Kita tidak terbiasa mengenali lapisan-lapisan makna (konotatif dan denotatif, misalnya) dalam lukisan, gambar, foto, film, iklan, televisi; bagaimana mereka diproduksi dan bagaimana gagasan di baliknya berkembang seturut proses distribusi dan apresiasinya. Terhadap sebuah teks, dengan relatif mudah kita dapat mencatat isi, gaya dan strukturnya. Kita dapat melihat perangkat-perangkat bahasa yang digunakan untuk meyakinkan kita atas argumen yang hendak disampaikan penulis. Secara kritis kita dapat "membaca" apa yang tidak tertulis, merasakan seberapa besar pengaruh nama penulis terhadap penerimaan ide yang hendak disampaikan pada pembaca. Tapi apakah kita dapat menerapkan proses atau telaah yang sama ketika berhadapan dengan "teks visual" sama seperti saat menghadapi "teks verbal"? Perbandingan antara yang literal dan yang visual ini dilakukan untuk menunjukkan bagaimana foto-foto tentang Revolusi Indonesia sebenarnya dapat kita telisik seketat dan semendalam tulisan-tulisan tentang subyek yang sama.
Para penulis budaya visual, termasuk di dalamnya para teoritikus fotografi, iklan, film, dan televisi, sering mengingatkan bahwa pada dasarnya dunia datang kepada kita pertama-tama secara visual. Kita mengenali ibu kita sebelum kita mampu menyebutnya "ibu", apalagi menulis kata "ibu". Kita juga melihat bentangan waktu yang sangat panjang antara lukisan pertama dan tulisan pertama di dunia. Lebih banyak contoh dapat diberikan untuk menunjukkan bahwa dunia literal yang menguasai kesadaran kita sekarang relatif lebih muda dibandingkan dunia visual. Karena itu yang kita butuhkan sekarang adalah kembali ke dasar pemahaman kita dulu, yang bersifat visual. Kita perlu mengasah kembali kesadaran dan kepekaan visual kita yang sebenarnya sudah pernah kita pakai sampai kita mengenal kata dan bahasa.
Kalam nomor ini ingin ikut memerangi iliterasi visual di atas dengan membicarakan salah satu pilar budaya visual: fotografi. Yang segera tampak dari tulisan-tulisan yang ada adalah bahwa sebagian besar penulisnya (kecuali M. Firman Ichsan) tidak punya latar belakang formal fotografi. Gejala ini bisa menunjukkan paling tidak dua hal. Pertama, semakin banyak pembahasan tentang fotografi dari berbagai disiplin—suatu kecenderungan yang pastilah menggembirakan.
Namun, dan ini yang kedua, kurangnya minat para fotografer memikirkan dan membahas medium yang mereka geluti—suatu keadaan yang tentu saja meresahkan. Sementara itu, mengaitkan kedua hal di atas malahan semakin merisaukan, sebab para pembahas fotografi jangan-jangan adalah mereka yang berpengetahuan terbatas tentang medium ini, sedangkan mereka yang mempraktekkan medium ini justru tidak tertarik membahasnya. Tetapi mungkin dari sinilah kita harus memulainya, kini, dengan membuka keresahan dan kerisauan itu. Mengangkatnya ke tataran yang memungkinkan perbincangan lebih jauh dan mendalam.
Jakarta, Mei 2007
Alex Supartono adalah seorang kurator, dosen, dan pengamat fotografi. Ia bekerja sebagai redaktur khusus nomor "Fotografi dan Budaya Visual" Jurnal Kebudayaan Kalam hingga menjelang peluncuran www.jurnalkalam.org. Segera setelah menyelesaikan tulisan pengantar ini ia berangkat Leiden, Belanda, untuk mengadakan penelitian persiapan sebuah pameran fotografi tentang sejarah industri gula sejak zaman kolonial.
sumber: http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html
oleh Alex Supartono
Bersama mesin uap dan telegraf, fotografi telah memperpendek jarak antarorang dan antarruang sejak dua abad lalu. Mesin uap sebagai perpanjangan otot telah memperbesar kemungkinan aksi dan mimpi manusia, telegraf mengubah pola komunikasi, dan fotografi menjadi mata yang terus bekerja memberi tatapan baru terhadap dunia.
Dilihat dari dalam, fotografi adalah kerja ilmiah panjang mewujudkan mimpi mengabadikan pantulan citra di cermin. Mimpi melanggengkan apa yang pernah kita lihat atau lakukan dan menjadikannya jejak (atau bahkan saksi) sejarah yang kita bangun. Rekaman visual dalam bentuk lukisan dan karya grafis, selain terlalu mahal, dianggap tak lagi memenuhi tuntutan kecepatan dan efisiensi modernitas. Fotografi adalah bagian dari percepatan zaman yang terobsesi efisiensi mekanis.
Prinsip fisika kerja pinhole atau camera obscura (kamar gelap) ditemukan jauh sebelum menjadi praktek fotografi. Dalam camera obscura, pemandangan di luar terpantul melalui sebuah lubang kecil (pinhole) ke dinding di seberangnya secara terbalik. Pada abad ke-11 para ilmuwan Arab sudah memakainya sebagai hiburan dengan menjadikan tenda mereka sebagai camera obscura, sebelum Leonardo da Vinci di akhir abad ke-15 menggambar rincian sistem kerja alat yang menjadi muasal kata "kamera" itu. Seabad kemudian—berbentuk kotak dan mudah dibawa ke mana-mana—piranti ini sudah menjadi salah satu alat kerja para pelukis yang umum dipakai, membantu mereka mendwimatrakan realitas tiga dimensi yang akan mereka lukis. Perkembangan teknologi lensa kemudian tidak hanya membuat citra itu semakin jelas tapi juga tidak terbalik, dan camera obscura pun mulai menjadi benda umum.
Masalah berikutnya adalah bagaimana meninggalkan jejak citra di dalam camera obscura. Pada tahun 1727, ilmuwan Jerman Johann Heinrich Schulze menemukan kimia perak yang menghitam ketika terkena cahaya. Penemuan ini dilanjutkan oleh koleganya dari Inggris, Thomas Wedgwood, yang mulai berhasil merekam citra secara fotografis. Percobaan Wedgwood ini menghasilkan citra primitif bayangan berbagai obyek. Tetapi ternyata citra ini terus menggelap sampai tak ada lagi yang bisa dilihat. Dengan lain kata, Wedgwood tak berhasil mewujudkan citra fotografis. Akhirnya rekaman citra dari camera obscura baru tercapai pada tahun 1826 ketika foto pertama diproduksi oleh bangsawan Prancis Joseph Nicephore Niepce (1765-1833), yang menyebutnya "heliograf" (tulisan matahari). Namun, dibutuhkan waktu 8 jam untuk mengabadikan gedung-gedung dari jendela rumah itu. Alhasil, meski Niepce sudah menemukan dasar utama fotografi, ia belum berhasil menjadikannya sesuatu yang praktis.
Louis Jacques Mende Daguerre-lah (1787-1851), rekan kerja sama Niepce, yang membuat alat penjiplak realitas ini menjadi jauh lebih praktis dengan waktu eksposur kurang dari satu menit. Sayangnya citra yang dihasilkan daguerreotype adalah citra positif, sehingga menjadi satu-satunya hasil rekaman. Sedangkan ketunggalan bertentangan dengan industri dan produksi massal. Masalah ini akhirnya diselesaikan oleh bangsawan dan akademisi Inggris, William Henry Fox Talbot (1800-1877), yang menemukan negatif dan mencetaknya di atas kertas.
Selanjutnya, penyempurnaan teknologi fotografi terus berlanjut dengan orientasi utama pada kemudahan pemakaiannya sehari-hari. George Eastman memperkenalkan kamera Kodak dengan film gulung di tahun 1888, mengubah fotografi, yang sebelumnya hanya dilakukan para profesional, menjadi konsumsi publik: You press the button, we do the rest. Tahun 1925 kamera 35mm pertama, kamera yang kita pakai sehari-hari sekarang, keluar dari pabrik Leica di Jerman. Kodak kembali menyusul dengan memperkenalkan film berwarna pada tahun 1935, lalu foto langsung jadi Polaroid diluncurkan tahun 1947, dan kamera digital mulai dijual ke pasar tahun 1996.
Percepatan perkembangan teknologi fotografi, yang dibarengi distribusi citra-citra fotografis, ternyata tidak otomatis menjadikannya sebagai bagian dari keseharian, dibanding mesin uap atau telegraf. Teknologi memindahkan realitas ke atas selembar kertas ternyata terlalu mengejutkan untuk langsung nyambung dengan kesadaran (visual) manusia. Fotografer Inggris John Thomson (1837-1921) pernah dikejar-kejar penduduk setempat saat menjalankan misi antropologis di Cina karena mereka percaya ada mata seorang anak kecil yang diletakkan di dalam kameranya. Balzac selalu ketakutan setiap kali Nadar (1820-1910) hendak memotretnya, karena bapak novel realis ini yakin bahwa seberkas nyawanya berpindah ke dalam foto. Keluhan yang sama disampaikan Kartini (1879-1901) kepada kawannya, Abendanon, saat ia mengalami kesulitan memotret di luar keputren. Seperti Balzac, bukan kebetulan orang Jawa saat itu ketakutan bahwa kamera akan memperpendek hidup mereka. Suasana yang bertentangan dengan rasionalitas teknologi sepertinya terus menyesuaikan bentuk mengiring sejarah fotografi, menciptakan serangkaian takhayul baru.
Di lain pihak, di tengah seluruh keterdugaan fotografi, pencarian terhadap faktor-faktor tak terduga dari medium ini menjadi obsesi tersendiri di kalangan fotografer. Mereka berusaha mencari dan menampilkan unsur-unsur nonmekanis dalam karya-karya mereka, yang tidak lagi bisa diukur secara teknis. Para fotografer potret, mulai dari August Sander dan Richard Avedon sampai Diane Arbus dan Rineke Dijkstra, berusaha merenggut ke luar dan menampilkan nyawa, karakter, dan keunikan individual subyek-subyek yang mereka potret. Sehingga apa yang kita lihat di dalam foto bukanlah sekadar tampilan luar tapi juga pancaran kedalamannya. Dengan demikian, dengan statusnya sebagai penyalin mekanis realitas, fotografi sebenarnya, mengikuti Roland Barthes (1915-1981), menampilkan pada kita apa yang tidak terlihat. Namun untuk mencapai kualitas itu, para fotografer tak bisa tidak harus menggunakan kemungkinan-kemungkinan teknis yang disediakan fotografi. Mutlaknya keterkaitan gagasan dan teknis eksekusinya ini, sempat membuat pemikir seperti Susan Sontag (1933-2004) berpikir bahwa fotografi-lah yang akan menyelesaikan perdebatan klasik bentuk dan isi dalam seni.
Walter Benjamin (1892-1940) melihat reproduksi dan distribusi fotografi sebagai kekuatan yang akan menghancurkan aura seni pra-fotografi. Dari judul esainya yang paling dikenal di dunia fotografi, "The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction" (1936), Benjamin menyatakan fotografi adalah bentuk seni yang menjadi konsekuensi logis dari zaman yang digerakkan oleh reproduksi mekanis. Optimisme yang didasarkan pada rasionalitas fotografi sebagai hasil dari teknologi itu ternyata harus berhadapan dengan bentuk irasionalitas lain. Pemujaan magis dan religius pada karya seni yang telah disekulerkan oleh reproduksi mekanis, ternyata berhasil membangun tradisi otentisitas baru yang tidak lagi perlu bergantung pada ketunggalan, tetapi dengan memasukkannya ke dalam sistem yang mengendalikan karakter alamiah reproduktifnya. Januari 2007 lalu, sebuah foto ukuran 227 x 337 cm yang memperlihatkan pajangan barang supermarket di Amerika berjudul "99 cent II" karya fotografer Jerman Andreas Gursky, terjual seharga 1,7 juta poundsterling di Sotheby’s London. Beberapa bulan kemudian, restropeksi Andreas Gursky di Haus der Kunst Muenchen mematok harga paling rendah 200.000 euro.
Label harga adalah gerbang paradoksal fotografi ke dalam dunia seni. Bagaimana kita dapat memberi nilai pada sebuah obyek yang dapat diproduksi ulang (meski bukan di-copy) dalam jumlah yang praktis tak berhingga itu seolah-olah obyek tersebut adalah satu-satunya di dunia. Douglas Crimp, teoritikus dan fotografer Amerika, menganggap museum dan galeri sebagai geto fotografi. Sebab di ruang itu aspek estetis fotografi-lah yang mengemuka, mengesampingkan potensi makna lain yang ditanamkan ketika foto itu dibuat. Museum dan galeri-lah yang mengubah fotografi menjadi obyek yang melulu diperhatikan kualitas estetisnya: menjadi obyek seni. Tahap selanjutnya adalah membangun nilai finansial obyek tersebut, mengikuti tradisi dan aturan main dari seni rupa yang lebih dulu terbentuk.
Gejala di atas tidaklah sesederhana perkara menerima atau menolak fotografi masuk ke dalam museum, galeri, atau pasar seni. Masuknya fotografi ke dalam wacana dan praktek seni bercampur baur antara: 1. Foto yang dibuat tanpa niatan seni (foto dokumenter, misalnya) namun di kemudian hari dilihat sebagai benda seni, 2. Seniman yang menggunakan fotografi sebagai salah satu medium ekspresinya, dan 3. Fotografer melihat dirinya sebagai seniman yang menghasilkan obyek seni lewat fotografi. Hal ini masih ditambah dengan kecurigaan yang selalu ada pada intervensi mekanis dalam kerja kreatif. Walau Picasso dan Renoir melihat kamera telah membebaskan pelukis dari banyak hal, sebanyak kemungkinan cara melihat baru yang ditawarkannya, posisi fotografi dalam seni rupa tetap saja tidak pernah jenak. Keluasan kemungkinan artistik yang disediakan fotografi, yang terus bertambah seturut perkembangan teknologinya, menuntut penyesuaian tanpa henti dari gagasan tentang seni rupa itu sendiri, beserta seluruh infrastrukturnya. Sampai sekarang, perbincangan ini masih terus berlangsung sebagaimana tampak jelas dari bermacam karakter yang dikembangkan berbagai festival foto di dunia, dari festival yang mengeksplorasi batas fotografi dokumenter dan seni, festival yang memberi ruang lebih lebar pada kemungkinan-kemungkinan fotojurnalistik, sampai festival yang dipenuhi galeri-galeri yang mewakili fotografer/seniman dan memasarkan karya mereka. Namun, praktek-praktek ini masih terlalu dini untuk dijadikan acuan melihat perkembangan fotografi dan seni.
Namun, di lain pihak, melihat fotografi dengan perspektif kualitas formalnya belaka, melalui kaca mata seni rupa, sebenarnya mengesampingkan sebagian besar praktek fotografi lainnya: jurnalistik, mode, iklan, dan tentu saja snapshots (foto-foto yang dibuat dengan ketulusan). Foto KTP, paspor, sinar X, mikroskopis, makroskopis, foto ulang tahun, perkawinan, foto studio komersial yang tersebar di setiap penjuru adalah keseharian modern kita. Citra-citra fotografis inilah yang memengaruhi cara kita berpakaian, makan, berpikir, berpendapat, dan bahkan cara kita lahir dan mati.
Warhol, Rauschenberg dan seniman pop art lain di awal 1970-an meninggalkan keterpakuan pada kualitas formal fotografi dan mulai menjadikan praktek keseharian fotografi sebagai materi dasar karya-karya mereka sekaligus medium ekspresinya. Cetak saring Warhol yang sekarang berharga ratusan ribu dolar itu dibuat berdasarkan citra-citra fotografis (potret) Mao, Marilyn Monroe, Muhammad Ali sampai Che yang sebelumnya sudah menjadi ikon publik. Di sini Warhol tidak melandaskan karyanya pada kemampuan fotografi menjiplak realitas, tapi pada kekuatan reproduksi dan distribusi fotografi yang sedemikian rupa sehingga mampu menjadikan potret sebagai ikon visual publik. Dengan kata lain, Warhol berkarya berdasarkan citra fotografis yang sudah ada, tanpa harus repot membuatnya sendiri. Praktek ini adalah gejala baru yang membuka wilayah pembahasan baru dalam kaitan posisi fotografi dengan/dalam seni rupa.
Pembahasan fotografi dan seni selalu menopan di dalam gelas. Kalau kita sedikit saja melongok ke luar dari keriuhan di dalam gelas itu, segera terpampang keluasan masalahnya yang masih jauh dari pembahasan yang memadai. Sedangkan praktek dan dampaknya berjalan terus tanpa henti. Kedekatan fotografi pada realitas yang bersejajar dengan kecenderungan kita untuk lebih percaya apa yang kita lihat (seeing is believing), membuat perpanjangan hubungan kita dengan realitas kita terima sebagai realitas itu sendiri. Susan Sontag menyebut gejala ini sebagai super-tourism. Layaknya pelancong zaman sekarang, keberadaan, pengalaman, dan hubungan dengan tempat yang dikunjungi seolah tidak pernah ada bila tidak ada foto yang menjadi bukti. Memori kita pun kemudian tidak mengacu pada pengalaman kita langsung, tetapi pada foto yang menunjukkan keberadaan kita di sana.
Daya ilusif foto memiliki kemampuan menisbikan statusnya sendiri sebagai representasi. Kesenjangan inilah yang menjadi pokok masalah pengetahuan yang dibawa fotografi: dari semua bentuk representasi, fotografi adalah medium yang paling mudah berasimilasi dalam perbincangan kita tentang pengetahuan dan kebenaran. Penerimaan kita terhadap informasi yang diberikan foto sering kali mengandaikan begitu saja (atau abai pada) praktek-praktek yang dilakukan saat pembuatan foto tersebut, dan hanya berkonsentrasi pada fotonya. Sehingga kosakata yang kita pakai untuk sebuah foto sering kali tak ubahnya seperti pertemuan langsung dengan apa yag ditampilkan foto tersebut. "Ini pacar saya" adalah frasa yang dipakai untuk memperkenalkan pacar saya pada orang lain ketika saya menunjukkan foto pacar saya pada orang lain. Foto berkekuatan langsung masuk ke dalam bawah sadar kita yang membuat kita menerima jiplakan realitas sebagai realitas itu sendiri.
Roland Barthes membawa skandal fotografis dalam peristiwa Komune Paris sebagai contoh. Berawal dari sebuah foto yang menampilkan sosok-sosok yang berjajar dengan pose bangga di depan kamera. Kemenangan baru saja mereka raih. Mereka berhasil menguasai salah satu sudut Paris, merebutnya dari tangan kaum borjuis konservatif. Teori telah dipraktekkan, dan mereka melihat masa depan realisasi sebuah ideologi.
Dalam pose itu, setiap pribadi begitu mengemuka, penuh dengan cita-cita. Setiap wajah mengguratkan kehendak dan keberanian dalam kekhasan ekspresi masing-masing. Tanpa mereka sangka, justru karena foto inilah hidup mereka berakhir. Ketika sebuah foto lain berhasil membangkitkan amarah warga Paris pada para anggota Komune Paris itu. Foto yang menampilkan mayat polisi bergelimpangan, dengan keterangan mereka dibantai para pejuang revolusioner itu. Foto itu membuat warga Paris berubah pikiran dan memberi mandat kepada polisi untuk menghukum kaum revolusioner itu sesuai dengan perbuatan mereka. Dari foto kemenangan itu, masing-masing orang itu dikenali, kemudian satu demi satu ditembak mati, hampir semuanya. Namun, warga Paris tidak tahu bahwa mayat-mayat yang bergelimpangan yang mereka lihat itu, bangkit kembali setelah sesi pemotretan selesai.
Bukannya kita tidak belajar dari peristiwa yang diangkat Barthes di atas. Tokoh Bauhaus kelahiran Hungaria, Laszlo Moholy-Nagy, sudah mengingatkan sejak awal abad ke-20 lalu, bahwa pengetahuan kita tentang fotografi sama pentingnya dengan pengetahuan kita tentang abjad. Dan iliterasi di masa depan adalah pengabaian atas penggunaan kamera seperti halnya penggunaan pena. Moholy-Nagy menuntut manusia modern untuk mampu membaca foto seperti membaca tulisan, karena kamera akan sama pentingnya dengan pena. Kekhawatiran Moholy-Nagy bukan hanya pada "daya ilusif" fotografi, tapi pada daya sebar tipuan itu, bukan semata pada produksi tapi juga pada distribusi. Sebab, kekuatan ilusif foto berlipat ganda seiring daya sebarnya, berkat kemampuan fotografi berinteraksi dan bergabung dengan bentuk-bentuk representasi visual lain.
Dunia kita semakin visual. Semakin lama kita semakin rapat dikelilingi citra yang semakin canggih. Seakan kata perlahan digantikan citra. Waktu yang kita habiskan untuk membaca semakin dikurangi waktu kita untuk menonton. Semakin jarang kita merekam pengalaman dengan catatan buku harian, sebab melihat foto atau video-nya jauh lebih menyenangkan. Namun, walaupun kita sudah begitu terbiasa menerima segala yang datang secara visual, tidak otomatis kita aktif pula secara visual, sebagaimana otak kita aktif bekerja mencerna kata, huruf, dan tulisan. Terhadap citra, terlalu banyak hal yang kita andaikan, tanpa pernah perlu memeriksa lebih jauh pemahaman kita atasnya. Sebab, kita tak pernah dididik secara sistematis untuk itu.
Saat belajar membaca abjad, kita ditunjukkan bagaimana kalimat disusun menjadi satuan-satuan tata bahasa, bagaimana penulis menggunakan perangkat tata bahasa untuk menyampaikan gagasan mereka, serta bagaimana gagasan disusun dan dipertukarkan dalam berbagai tingkat kecanggihan. Kita belajar membaca sekaligus menulis, melakukan konsumsi sekaligus produksi, pasif tetapi juga aktif. Sedangkan terhadap yang visual, kita seakan ditinggal sendirian untuk memahami maknanya. Kita tidak pernah diajari (secara sistematis) bagaimana melihat gagasan dibentuk dan disebarkan secara visual. Kita tidak terbiasa mengenali lapisan-lapisan makna (konotatif dan denotatif, misalnya) dalam lukisan, gambar, foto, film, iklan, televisi; bagaimana mereka diproduksi dan bagaimana gagasan di baliknya berkembang seturut proses distribusi dan apresiasinya. Terhadap sebuah teks, dengan relatif mudah kita dapat mencatat isi, gaya dan strukturnya. Kita dapat melihat perangkat-perangkat bahasa yang digunakan untuk meyakinkan kita atas argumen yang hendak disampaikan penulis. Secara kritis kita dapat "membaca" apa yang tidak tertulis, merasakan seberapa besar pengaruh nama penulis terhadap penerimaan ide yang hendak disampaikan pada pembaca. Tapi apakah kita dapat menerapkan proses atau telaah yang sama ketika berhadapan dengan "teks visual" sama seperti saat menghadapi "teks verbal"? Perbandingan antara yang literal dan yang visual ini dilakukan untuk menunjukkan bagaimana foto-foto tentang Revolusi Indonesia sebenarnya dapat kita telisik seketat dan semendalam tulisan-tulisan tentang subyek yang sama.
Para penulis budaya visual, termasuk di dalamnya para teoritikus fotografi, iklan, film, dan televisi, sering mengingatkan bahwa pada dasarnya dunia datang kepada kita pertama-tama secara visual. Kita mengenali ibu kita sebelum kita mampu menyebutnya "ibu", apalagi menulis kata "ibu". Kita juga melihat bentangan waktu yang sangat panjang antara lukisan pertama dan tulisan pertama di dunia. Lebih banyak contoh dapat diberikan untuk menunjukkan bahwa dunia literal yang menguasai kesadaran kita sekarang relatif lebih muda dibandingkan dunia visual. Karena itu yang kita butuhkan sekarang adalah kembali ke dasar pemahaman kita dulu, yang bersifat visual. Kita perlu mengasah kembali kesadaran dan kepekaan visual kita yang sebenarnya sudah pernah kita pakai sampai kita mengenal kata dan bahasa.
Kalam nomor ini ingin ikut memerangi iliterasi visual di atas dengan membicarakan salah satu pilar budaya visual: fotografi. Yang segera tampak dari tulisan-tulisan yang ada adalah bahwa sebagian besar penulisnya (kecuali M. Firman Ichsan) tidak punya latar belakang formal fotografi. Gejala ini bisa menunjukkan paling tidak dua hal. Pertama, semakin banyak pembahasan tentang fotografi dari berbagai disiplin—suatu kecenderungan yang pastilah menggembirakan.
Namun, dan ini yang kedua, kurangnya minat para fotografer memikirkan dan membahas medium yang mereka geluti—suatu keadaan yang tentu saja meresahkan. Sementara itu, mengaitkan kedua hal di atas malahan semakin merisaukan, sebab para pembahas fotografi jangan-jangan adalah mereka yang berpengetahuan terbatas tentang medium ini, sedangkan mereka yang mempraktekkan medium ini justru tidak tertarik membahasnya. Tetapi mungkin dari sinilah kita harus memulainya, kini, dengan membuka keresahan dan kerisauan itu. Mengangkatnya ke tataran yang memungkinkan perbincangan lebih jauh dan mendalam.
Jakarta, Mei 2007
Alex Supartono adalah seorang kurator, dosen, dan pengamat fotografi. Ia bekerja sebagai redaktur khusus nomor "Fotografi dan Budaya Visual" Jurnal Kebudayaan Kalam hingga menjelang peluncuran www.jurnalkalam.org. Segera setelah menyelesaikan tulisan pengantar ini ia berangkat Leiden, Belanda, untuk mengadakan penelitian persiapan sebuah pameran fotografi tentang sejarah industri gula sejak zaman kolonial.
sumber: http://jurnalkalam.org/edisi/2007/fotografi_pengantar.html
Fungsi Foto dalam Kehidupan
Untuk mengetahui apa saja bidang garapan fotografi dapat dilihat dari berbagai kegiatan yang memerlukan foto, sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Pertama, karya foto merupakan suatu dokumentasi yang bisa disimpan dalam kurun waktu tertentu. Hampir semua aktiviti manusia dengan berbagai kehidupannya, boleh digambar untuk dijadikan dokumentasi. Kalau diperkantoran, aktiviti tersebut misalnya acara seminar, workshop dan lain-lain. Sedangkan dalam lingkup keluarga seperti pesta perkahwinan, ulang tahun, kelahiran atau kematian salah seorang anggota keluarga.
Kedua, fungsi foto untuk kelengkapan administrasi kependudukan dan lainnya, seperti pembuatan KTP, SIM, Pasport, Bukti Surat Nikah, ijazah dan sebagainya.
Untuk pengadaan foto-foto tersebut, diperlukan fotografer yang mampu memotret wajah subjek dengan baik dan jelas. Ini tentu tidak bisa semua fotografer mampu melakukannya.
Ketiga, pemotretan untuk pembuktian telah terjadinya suatu masalah/perkara yang dapat dijadikan informasi/data untuk memperkuat pembuktian di pengadilan. Pemotretan ini biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian, atau fotografer yang dimintai bantuannya untuk memotret sesuatu. Pemotretan biasanya dilakukan di TKP (Tempat Kejadian Perkara) atau terhadap barang bukti yang ditemukan.
Keempat, fungsi foto sebagai pelengkap artikel di media cetak. Pemotretan ini biasanya dilakukan oleh wartawan foto atas permintaan redaktur. Misalnya untuk melengkapi artikel tentang terjadinya kesulitan sebagian masyarakat dalam mendapatkan minyak tanah. Agar artikel tersebut menarik, maka artikel tersebut dilengkapi dengan foto yang menggambarkan antrian calon pembeli minyak tanah.
Kelima, foto jurnalistik atau foto berita dapat dikatakan suatu foto yang mempunyai nilai berita tinggi, yang menggambarkan fakta dan isinya sangat aktual peristiwanya.
Foto Jurnalistik pada dasarnya bukan hanya monopoli wartawan foto yang bisa membuatnya, masyarakat biasa pun bisa membuat dan mengirim ke media, sepanjang foto memenuhi kaidah jurnalistik dan memang layak untuk dimuat sebagai foto berita.
Keenam, foto-foto untuk bahan dasar pembuatan poster, poscard, brosur, leaflet, flyer dan sebagainya. Foto-foto ini biasanya digunakan untuk keperluan pameran dan penerangan masyarakat. Untuk menghasilkan foto-foto tersebut, biasanya fotografer di suatu lembaga atau institusi yang melakukan hunting langsung ke lapangan. Jika instansi tersebut tidak memiliki fotografer yang mumpuni, biasanya akan dicari fotografer dari luar, untuk melakukan pemotretan sesuai permintaan.
Ketujuh, fungsi foto untuk kegiatan promosi, seperti memasarkan rumah mewah, mobil dan sepeda motor keluaran terbaru, objek wisata, kamera, handphone dan sebagainya.
Mengingat pentingnya citra dan daya tarik suatu produk untuk menarik konsumen agar mau membeli, foto-foto untuk bahan pembuatan iklan biasanya dibuat sangat menarik dan sempurna, sehingga hanya beberapa gelintir fotografer saja yang mampu memotretnya.
Kelapan, pemotretan peragaan busana. Dalam acara ini pun tidak semua fotografer mampu menghasilkan gambar yang baik dan menarik. Dalam pemotretan ini sangat diperlukan gambaran yang jelas dan detail dari hasil rancangan karya seorang designer.
Kesembilan, foto-foto untuk bahan presentase pimpinan. Misalnya di kantor pemerintahan, perusahaan, lembaga masyarakat dan sebagainya.
Seorang pengusaha real estate/perumahan, tentu akan sangat terbantu jika presentase kepada pihak perbankan yang memberi modal atau calon konsumen, mampu menyajikan gambar-gambar proyek perumahan yang sedang dibangun, dibanding jika hanya menggunakan kata-kata saja.
Kesepuluh, foto-foto untuk bahan dasar pembuatan sablon seperti pencetakan buku-buku, spanduk, kaos, topi dan lain-lain. Pemotretan dan pembuatan bahan cetakan dari sablon ini semakin semarak, seiring dengan ramainya pemilihan kepala daerah (pilkada) di tanah air. Foto-foto tersebut sangat diperlukan untuk kegiatan kampanye.
Kesebelas, fungsi foto untuk bahan evaluasi kegiatan. Hal ini sering dilakukan, baik ketika proyek baru dimulai, maupun di dalam proses pelaksanaannya. Melalui foto-foto yang dibuat dalam kurun waktu tertentu, akan dapat diketahui, apakah pembangunan yang dibuat sesuai dengan rencana, atau melenceng, sehingga bisa cepat diperbaiki.
Fungsi foto untuk bahan evaluasi juga sering digunakan untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan anak. Sebelum seorang anak mengikuti program perbaikan Gizi, si anak diukur tinggi dan berat badannya, setelah program berjalan 6 bulan atau 1 tahun, si anak di foto kembali sehingga terlihat hasilnya. Dari uraian di atas, jelas bahwa bidang kegiatan fotografi sangat luas, dan terbuka bagi para pemotret untuk menekuninya. Tinggal, bagaimana para pemotret meningkatkan kualitas hasil pemotretan dan mengisi peluang menjadi fotografer seperti yang dibutuhkan masyarakat.
Untuk mengetahui apa saja bidang garapan fotografi dapat dilihat dari berbagai kegiatan yang memerlukan foto, sebagaimana diuraikan dibawah ini.
Pertama, karya foto merupakan suatu dokumentasi yang bisa disimpan dalam kurun waktu tertentu. Hampir semua aktiviti manusia dengan berbagai kehidupannya, boleh digambar untuk dijadikan dokumentasi. Kalau diperkantoran, aktiviti tersebut misalnya acara seminar, workshop dan lain-lain. Sedangkan dalam lingkup keluarga seperti pesta perkahwinan, ulang tahun, kelahiran atau kematian salah seorang anggota keluarga.
Kedua, fungsi foto untuk kelengkapan administrasi kependudukan dan lainnya, seperti pembuatan KTP, SIM, Pasport, Bukti Surat Nikah, ijazah dan sebagainya.
Untuk pengadaan foto-foto tersebut, diperlukan fotografer yang mampu memotret wajah subjek dengan baik dan jelas. Ini tentu tidak bisa semua fotografer mampu melakukannya.
Ketiga, pemotretan untuk pembuktian telah terjadinya suatu masalah/perkara yang dapat dijadikan informasi/data untuk memperkuat pembuktian di pengadilan. Pemotretan ini biasanya dilakukan oleh aparat kepolisian, atau fotografer yang dimintai bantuannya untuk memotret sesuatu. Pemotretan biasanya dilakukan di TKP (Tempat Kejadian Perkara) atau terhadap barang bukti yang ditemukan.
Keempat, fungsi foto sebagai pelengkap artikel di media cetak. Pemotretan ini biasanya dilakukan oleh wartawan foto atas permintaan redaktur. Misalnya untuk melengkapi artikel tentang terjadinya kesulitan sebagian masyarakat dalam mendapatkan minyak tanah. Agar artikel tersebut menarik, maka artikel tersebut dilengkapi dengan foto yang menggambarkan antrian calon pembeli minyak tanah.
Kelima, foto jurnalistik atau foto berita dapat dikatakan suatu foto yang mempunyai nilai berita tinggi, yang menggambarkan fakta dan isinya sangat aktual peristiwanya.
Foto Jurnalistik pada dasarnya bukan hanya monopoli wartawan foto yang bisa membuatnya, masyarakat biasa pun bisa membuat dan mengirim ke media, sepanjang foto memenuhi kaidah jurnalistik dan memang layak untuk dimuat sebagai foto berita.
Keenam, foto-foto untuk bahan dasar pembuatan poster, poscard, brosur, leaflet, flyer dan sebagainya. Foto-foto ini biasanya digunakan untuk keperluan pameran dan penerangan masyarakat. Untuk menghasilkan foto-foto tersebut, biasanya fotografer di suatu lembaga atau institusi yang melakukan hunting langsung ke lapangan. Jika instansi tersebut tidak memiliki fotografer yang mumpuni, biasanya akan dicari fotografer dari luar, untuk melakukan pemotretan sesuai permintaan.
Ketujuh, fungsi foto untuk kegiatan promosi, seperti memasarkan rumah mewah, mobil dan sepeda motor keluaran terbaru, objek wisata, kamera, handphone dan sebagainya.
Mengingat pentingnya citra dan daya tarik suatu produk untuk menarik konsumen agar mau membeli, foto-foto untuk bahan pembuatan iklan biasanya dibuat sangat menarik dan sempurna, sehingga hanya beberapa gelintir fotografer saja yang mampu memotretnya.
Kelapan, pemotretan peragaan busana. Dalam acara ini pun tidak semua fotografer mampu menghasilkan gambar yang baik dan menarik. Dalam pemotretan ini sangat diperlukan gambaran yang jelas dan detail dari hasil rancangan karya seorang designer.
Kesembilan, foto-foto untuk bahan presentase pimpinan. Misalnya di kantor pemerintahan, perusahaan, lembaga masyarakat dan sebagainya.
Seorang pengusaha real estate/perumahan, tentu akan sangat terbantu jika presentase kepada pihak perbankan yang memberi modal atau calon konsumen, mampu menyajikan gambar-gambar proyek perumahan yang sedang dibangun, dibanding jika hanya menggunakan kata-kata saja.
Kesepuluh, foto-foto untuk bahan dasar pembuatan sablon seperti pencetakan buku-buku, spanduk, kaos, topi dan lain-lain. Pemotretan dan pembuatan bahan cetakan dari sablon ini semakin semarak, seiring dengan ramainya pemilihan kepala daerah (pilkada) di tanah air. Foto-foto tersebut sangat diperlukan untuk kegiatan kampanye.
Kesebelas, fungsi foto untuk bahan evaluasi kegiatan. Hal ini sering dilakukan, baik ketika proyek baru dimulai, maupun di dalam proses pelaksanaannya. Melalui foto-foto yang dibuat dalam kurun waktu tertentu, akan dapat diketahui, apakah pembangunan yang dibuat sesuai dengan rencana, atau melenceng, sehingga bisa cepat diperbaiki.
Fungsi foto untuk bahan evaluasi juga sering digunakan untuk mengetahui perkembangan pertumbuhan anak. Sebelum seorang anak mengikuti program perbaikan Gizi, si anak diukur tinggi dan berat badannya, setelah program berjalan 6 bulan atau 1 tahun, si anak di foto kembali sehingga terlihat hasilnya. Dari uraian di atas, jelas bahwa bidang kegiatan fotografi sangat luas, dan terbuka bagi para pemotret untuk menekuninya. Tinggal, bagaimana para pemotret meningkatkan kualitas hasil pemotretan dan mengisi peluang menjadi fotografer seperti yang dibutuhkan masyarakat.
Depth Of Field
Depth of field is the range of distance within the subject that is acceptably sharp. The depth of field varies depending on camera type, aperture and focusing distance, although print size and viewing distance can influence our perception of it. This section is designed to give a better intuitive and technical understanding for photography, and provides a depth of field calculator to show how it varies with your camera settings.
The depth of field does not abruptly change from sharp to unsharp, but instead occurs as a gradual transition. In fact, everything immediately in front of or in back of the focusing distance begins to lose sharpness-- even if this is not perceived by our eyes or by the resolution of the camera.
CIRCLE OF CONFUSION
Since there is no critical point of transition, a more rigorous term called the "circle of confusion" is used to define how much a point needs to be blurred in order to be perceived as unsharp. When the circle of confusion becomes perceptible to our eyes, this region is said to be outside the depth of field and thus no longer "acceptably sharp." The circle of confusion above has been exaggerated for clarity; in reality this would be only a tiny fraction of the camera sensor's area.
When does the circle of confusion become perceptible to our eyes? An acceptably sharp circle of confusion is loosely defined as one which would go unnoticed when enlarged to a standard 8x10 inch print, and observed from a standard viewing distance of about 1 foot.
| At this viewing distance and print size, camera manufactures assume a circle of confusion is negligible if no larger than 0.01 inches (when enlarged). As a result, camera manufacturers use the 0.01 inch standard when providing lens depth of field markers (shown below for f/22 on a 50mm lens). In reality, a person with 20-20 vision or better can distinguish features 1/3 this size or smaller, and so the circle of confusion has to be even smaller than this to achieve acceptable sharpness throughout. |
A different maximum circle of confusion also applies for each print size and viewing distance combination. In the earlier example of blurred dots, the circle of confusion is actually smaller than the resolution of your screen for the two dots on either side of the focal point, and so these are considered within the depth of field. Alternatively, the depth of field can be based on when the circle of confusion becomes larger than the size of your digital camera's pixels.
Note that depth of field only sets a maximum value for the circle of confusion, and does not describe what happens to regions once they become out of focus. These regions also called "bokeh," from Japanese (pronounced bo-ké). Two images with identical depth of field may have significantly different bokeh, as this depends on the shape of the lens diaphragm. In reality, the circle of confusion is usually not actually a circle, but is only approximated as such when it is very small. When it becomes large, most lenses will render it as a polygonal shape with 5-8 sides.
CONTROLLING DEPTH OF FIELD
Although print size and viewing distance are important factors which influence how large the circle of confusion appears to our eyes, aperture and focal distance are the two main factors that determine how big the circle of confusion will be on your camera's sensor. Larger apertures (smaller F-stop number) and closer focal distances produce a shallower depth of field. The following depth of field test was taken with the same focus distance and a 200 mm lens (320 mm field of view on a 35 mm camera), but with various apertures.
CLARIFICATION: FOCAL LENGTH AND DEPTH OF FIELD
Note that I did not mention focal length as influencing depth of field. Even though telephoto lenses appear to create a much shallower depth of field, this is mainly because they are often used to make the subject appear bigger when one is unable to get closer. If the subject occupies the same fraction of the image (constant magnification) for both a telephoto and a wide angle lens, the total depth of field is virtually* constant with focal length! This would of course require you to either get much closer with a wide angle lens or much further with a telephoto lens, as demonstrated in the following chart:
Focal Length (mm) | Focus Distance (m) | Depth of Field (m) |
10 | 0.5 | 0.482 |
20 | 1.0 | 0.421 |
50 | 2.5 | 0.406 |
100 | 5.0 | 0.404 |
200 | 10 | 0.404 |
400 | 20 | 0.404 |
Note: Depth of field calculations are at f/4.0 on a Canon EOS 30D (1.6X crop factor),
using a circle of confusion of 0.0206 mm.
using a circle of confusion of 0.0206 mm.
Note how there is indeed a subtle change for the smallest focal lengths. This is a real effect, but is negligible compared to both aperture and focus distance. Even though the total depth of field is virtually constant, the fraction of the depth of field which is in front of and behind the focus distance does change with focal length, as demonstrated below:
| Distribution of the Depth of Field | |
Focal Length (mm) | Rear | Front |
10 | 70.2 % | 29.8 % |
20 | 60.1 % | 39.9 % |
50 | 54.0 % | 46.0 % |
100 | 52.0 % | 48.0 % |
200 | 51.0 % | 49.0 % |
400 | 50.5 % | 49.5 % |
This exposes a limitation of the traditional DoF concept: it only accounts for the total DoF and not its distribution around the focal plane, even though both may contribute to the perception of sharpness. A wide angle lens provides a more gradually fading DoF behind the focal plane than in front, which is important for traditional landscape photographs.
On the other hand, when standing in the same place and focusing on a subject at the same distance, a longer focal length lens will have a shallower depth of field (even though the pictures will show something entirely different). This is more representative of everyday use, but is an effect due to higher magnification, not focal length. Longer focal lengths also appear to have a shallow depth of field because they flatten perspective. This renders a background much larger relative to the foreground-- even if no more detail is resolved. Depth of field also appears shallower for SLR cameras than for compact digital cameras, because SLR cameras require a longer focal length to achieve the same field of view.
*Note: We describe depth of field as being virtually constant because there are limiting cases where this does not hold true. For focal distances resulting in high magnification, or very near the hyperfocal distance, wide angle lenses may provide a greater DoF than telephoto lenses. On the other hand, for situations of high magnification the traditional DoF calculation becomes inaccurate due to another factor: pupil magnification. This actually acts to offset the DoF advantage for most wide angle lenses, and increase it for telephoto and macro lenses. At the other limiting case, near the hyperfocal distance, the increase in DoF arises because the wide angle lens has a greater rear DoF, and can thus more easily attain critical sharpness at infinity for any given focal distance.
In order to calculate the depth of field, one needs to first decide on an appropriate value for the maximum allowable circle of confusion. This is based on both the camera type (sensor or film size), and on the viewing distance / print size combination.
Depth of field calculations ordinarily assume that a feature size of 0.01 inches is required for acceptable sharpness (as discussed earlier), however people with 20-20 vision can see features 1/3 this size. If you use the 0.01 inch standard of eyesight, understand that the edge of the depth of field may not appear acceptably sharp. The depth of field calculator below assumes this standard of eyesight, however I also provide a more flexible depth of field calculator.
Top of Form
Depth of Field Calculator | ||
Camera Type | | |
Selected aperture | | |
Actual lens focal length | mm | |
Focus distance (to subject) | meters | |
Closest distance of acceptable sharpness Furthest distance of acceptable sharpness Total Depth of Field |
Note: CF = "crop factor" (commonly referred to as the focal length multiplier)
Bottom of Form
DEPTH OF FOCUS & APERTURE VISUALIZATION
Another implication of the circle of confusion is the concept of depth of focus (also called the "focus spread"). It differs from depth of field in that it describes the distance over which light is focused at the camera's sensor, as opposed to how much of the subject is in focus. This is important because it sets tolerances on how flat/level the camera's film or digital sensor have to be in order to capture proper focus in all regions of the image.
Diagram depicting depth of focus versus camera aperture. The purple lines represent the extreme angles at which light could potentially enter the aperture. The purple shaded in portion represents all other possible angles. Diagram can also be used to illustrate depth of field, but in that case it's the lens elements that move instead of the sensor.
The key concept is this: when an object is in focus, light rays originating from that point converge at a point on the camera's sensor. If the light rays hit the sensor at slightly different locations (arriving at a disc instead of a point), then this object will be rendered as out of focus -- and increasingly so depending on how far apart the light rays are.
OTHER NOTES
Why not just use the smallest aperture (largest number) to achieve the best possible depth of field? Other than the fact that this may require prohibitively long shutter speeds without a camera tripod, too small of an aperture softens the image by creating a larger circle of confusion (or "Airy disk") due to an effect called diffraction-- even within the plane of focus. Diffraction quickly becomes more of a limiting factor than depth of field as the aperture gets smaller. Despite their extreme depth of field, this is also why "pinhole cameras" have limited resolution.
For macro photography (high magnification), the depth of field is actually influenced by another factor: pupil magnification. This is equal to one for lenses which are internally symmetric, although for wide angle and telephoto lenses this is greater or less than one, respectively. A greater depth of field is achieved (than would be ordinarily calculated) for a pupil magnification less than one, whereas the pupil magnification does not change the calculation when it is equal to one. The problem is that the pupil magnification is usually not provided by lens manufacturers, and one can only roughly estimate it visually.
Subscribe to:
Posts (Atom)